ASUHAN KEPERAWATAN
ULKUS PEPTIKUM
ULKUS PEPTIKUM
A. DEFINISI
Ulkus peptikum atau tukak peptic adalah ulkus yang terjadi pada mulkosa, submukosa dan kadang-kadang sampai lapisan muskularis dari traktus grastointestinalis yang selalu berhubungan dengan asam lambung yang cukup mengandung HCL. Termasuk ini ialah ulkus (tukak) yang terdapat pada bagian bawah dari oesofagus, lambung dan duodenum bagian atas (first portion of the duodeum). Mungkin juga dijumpai tukak di yeyenum, yaitu penderita yang mengalami gastroyeyenostomy. (Sujono Hadi, 1999: 204).
B. ETIOLOGI
Sebab-sebab yang pasti dari ulkus peptikum belum diketahui. Beberapa teori yang menerangkan terjadinya tukak peptic, antara lain sebagai berikut :
1. Asam getah lambung terhadap resistensi mukosa.
Tukak peptik kronia tidak mungkin terjadi lama tanpa adanya getah lambung. Sebagai contoh berdasarkan penyelidikan yang mengumpulkan banyak penderita dengan anemia pernisiosa disertai dengan aklorida.
2. Golongan darah.
Penderita dengan darah O lebih banyak menderita tukak duodeni jika dibandingkan dengan pada tukak lambung. Adapun sebab-sebabnya belum diketahui benar. Dan hasil penelitian dilaporkan bahwa pada penderita dengan golongan darah O kemungkinan terjadinya tukak duodeni adalah 38% lebih besar dari pada golongan lainnya. Kerusakan di daerah piepilorus dapat dihubungkan dengan golongan darah A, baik berupa tukak yang biasa ataupun karsinoma. Sedangkan pada golongan darah O sering ditemukan kelainan pada korpus lambung.
3. Susunan saraf pusat
Teori nerogen pada tukak peptik telah dibicarakan tahun 1959. berdasarkan pengalaman dari Chusing, erosi akut dan tukak pada edofagus, lambung dan duodenum dapat dihubungkan dengan kerusakan intrakranial, termasuk neoplasma primer atau sekunder dan hiperensi maligna.
Faktor kejiwaan dapat menyebabkan timbulnya tukak peptik. Misalnya pada mereka yang psikisnya sangat labil, pada ketegangan jiwa, emosi, mempunyai ambisi besar dan lain-lainnya yang menyebabkan untuk hidup tidak wajar.
4. Inflamasi bakterial.
Dari dasar tukak telah dibiakkan untuk menyelidiki mikroorganisme yang diduga sebagai penyebabnya, tetapi tidak ditemukan satu macam bakteripun. Selanjutnya pada hasil pemeriksaan didapat bahwa inflamasi non bakteri atau inflamasi khemis lebih besar dari pada inflamasi bakterial. Tukak yang spesifik misalnya pada TBC dan sipilis disebabkan spesifik mikroorganisme.
5. Inflamasi nonbakterial.
Teori yang mengatakan bahwa inflamasi nonbakterial sebagai penyebab didasarkan pada inflamasi dari kurvatura minor, antrum dan bulbus duedeni yang mana dapat disebutkan juga antaral gastritis, sering ditemukan dengan tukak. Dan sebagai penyebab dari gastritis sendiri belum jelas. Tukak yang kronis ialah sebagai kelanjutan dari tukak yang akut. Berdasarkan pemeriksaan histologis ditemukan perubahan yang nyata dari erosi akut ke tukak yang akut.
6. Infark.
Teori infark yang berdasarkan timbulnya kerusakan semacam kawah, sering ditemukan pada otopsi. Adanya defek pada dinding lambung serta timbulnya infark, karena asam gelah lambung dan dapat pula ditunjukkan adanya jaringan trombose di dasar tukak. Sekarang diketahuai bahwa jaringan trombose ialah sebagai hasil daripada sebagian penyebab kerusakan, yang tidak akan dijumpai pada tukak yang akut.
7. Faktor hormonal.
Banyak teori yang menerangkan adanya pengaruh-pengaruh hormonal yang dapat menimbulkan tukak peptik.
8. Obat-obatan (drug induced peptic ulcer).
Aspirin, alkohol, tembakau dapat menyebabkan kerusakan sawar mukosa lambung. Dari sekian banyak obat-obatan, yang paling sering menyebabkan adalah golongan salisilat, yaitu menyebabkan kelainan pada mukosa lambung. Phenylbutazon juga dapat menyebabkan timbulnya tukak peptik, seperti halnya juga histamin, reseprin akan merangsang sekresi lambung. Berdasarkan penyelidikan, ternyata golongan salisilat hanya akan menyebabkan erosi lokal.
9. Herediter.
Berdasarkan penelitian di dalam keluarga ternyata bahwa tukak peptik ini ada pengaruhnya dengan herediter. Terbukti bahwa dengan orang tua/ famili yang menderita tukak, jika dibandingkan dengan mereka yang orang tuanya sehat. Oleh sebab itu, family anamnesa perlu ditegakkan.
10. Berhubungan dengan penyakit lain.
a. Hernia diafrakmatika.
Pada hernia diafrakmatika, mukosa pada lingkaran hernia mungkin merupakan tempat timbulnya erosi atau tukak.
b. Sirosis hati.
Tukak peptik ditemukan juga pada penderita penyakit hepar terutama pada sirosis lebih banyak jika dibandingkan dengan orang normal. Tukak duodeni pada kaum wanita dengan sirosis biliaris ternyata bertambah, jika neutralisasi dari isi duodenum berkurang.
c. Penyakit paru-paru.
Frekuensi dari tukak yang kronis dengan TBC paru-paru sering ditemukan. Bertambah banyaknya tukak peptik dapat dihubungkan dengan bertambah beratnya emfisema dan corpulmonale.
11. Faktor daya tahan jaringan.
Penurunan daya tahan jaringan mempermudah timbulnya ulkus. Daya tahan jaringan dipengaruhi oleh banyaknya suplay darah dan cepatnya regenerasi.
C. TANDA DAN GEJALA
1. Rasa nyeri.
a. Berkaitan dengan makanan.
b. Sifatnya periodik, timbul beberapa saat / beberapa jam setelah makan atau waktu lapar atau saat sedang tidur tengah malam.
c. Sifat nyeri: terbakar, pedih seperti ditusuk-tusuk.
d. Lokalisasi: didaerah epigrastrium.
e. Beberapa teory yang menerangkan timbulnya nyeri:
1. Teory motilitas atau ketegangan.
Rasa nyeri atau pedih pada tukak peptic disebabkan karena bertambahnya kontraksi dari lambung atau duodenum. Pada penderita muda dengan tukak duodeni, timbulnya rasa nyeri atau pedih disebabkan kontraksi pada saraf-saraf nyeri di lambung (gastric pain never) yang bertambah selama menderita tukak.
2. Teory keasaman (acid theory)
Peranan asam HCL dan getah lambung pada dinding lambung yaitu dapat menyebabkan iritasi sehingga timbul nyeri.
3. Teory Inflamasi (the Inflammatory theory).
Teori lain menyatakan bahwa nyeri tau pedih pada tukak peptik, pertama-tama disebabkan oleh reaksi inflamasi. Serabut-serabut syaraf pada proses ulcerasi mengalami kerusakan dan sisa-sisa serabut yang masih ada telah dipisahkan dari isi lambung oleh lapisan “leucofibrinous material” serta jaringan granulasi yang telah menjadi insentifterhadap asam.
2. Nausea dan vomitus.
a. Timbul bila nyerinya sangat hebat.
b. Vomitus dalam jumlah banyak disertai makanan timbul 8-12 jam setelah makan, mungkin akibat pilorik stenosis yang disebabkan oleh pilorospasme.
c. Sebelum muntah, sudah ada perasaan tidak enak pada perut.
3. Nafsu makan
Nafsu makan penderita biasanya menurun oleh karena takut terhadap timbulnya rasa nyeri beberapa jam setelah makan. Akibatnya penderita mengurus.
4. Rasa terbakar.
Rasa panas dan nyeri pada daerah retrosternal, kadang-kadang disertai regurgitasi yang mungkin disebabkan oleh reflek spasme esofageal. Rasa terbakar biasanya oleh karena makan / minum asam.
5. Waterbrash atau regurgitasi asam.
Waterbrush adalah suatu keadaan dalam mulut yang cepat terisi oleh cairan terutama saliva tanpa ada rasa. Kadang-kadang juga terjadi regurgitasi dari cairan lambung dengan rasa pahit.
6. Gejala dari kolon (Colonic symtomp).
Pada beberapa penderita tukak duodeni dapat terlihat suatu tanda-tanda sindroma usus iritatif dari tipe spastik kolon. Penderita tersebut mungkin mengeluh adanya konstipasi dan merasa nyeri di perut yang tidak berhubungan dengan makanan. Nyeri tersebut biasanya dirasakan terutama pada perut sebelah kiri, kadang mungkin terus-menerus atau bersifat kolik dan mungkin juga timbul pada saat defekasi.
D. PATOGENESIS DAN PATHWAYS
1. Patogenesis
Obat-obatan golongan NSAID (aspirin), alcohol, garam empedu, dan obat-obatan lain yang merusak mukosa lambung, mengubah permeabilitas sawar epitel, memungkinkan difusi balik asam klorida dengan akibat kerusakan jaringan (mukosa) dan khususnya pembuluh darah. Hai ini mengakibatkan pengeluaran histamin. Histamine akan merangsang sekresi asam dan meningkatkan pepsin dari pepsinogen. Histamine ini akan mengakibatkan juga peningkatan vasodilatasi kapilerm sehingga membrane kapiler menjadi permeable terhadap protein, akibatnya sejumlah protein hilang dan mukosa menjadi adema.
Peningkatan asam akan merangsang syaraf kolinergik dan syaraf simpatik. Perangsangan terhadap kolinergik akan berakibat terjadinya peningkatan motilitas sehingga menimbulkan rasa nyeri (MK I), sedangkan rangsangan terhadap syaraf simpatik dapat mengakibatkan reflek spasme esophageal sehingga timbul regurgitasi asam Hcl yang menjadi pencetus timbulnya rasa nyeri berupa rasa panas seperti terbakar yang mengandung diagnosa (keperawatan I). Selain itu, rangsangan terhadap syaraf sympatik juga dapat mengakibatkan terjadinya pilorospasme yang berlanjut menjadi pilorustenosis yang berakibat lanjut makanan dari lambung tidak bisa masuk ke saluran berikutnya. Oleh karena itu pada penderita ulkus peptikum setelah makan mengalami mual, anoreksia, kembung dan kadang vomitus. Resiko terjadinya kekurangan nutrisi bisa terjadi sebagai manifestasi dari gejala-gejala tersebut.
Pada penderita tukak lambung mengalami peningkatan pepsin yang berasal dari pepsinogen. Pepsin menyebabkan degradasi mucus yang merupakansalah satu factor lambung. Oleh karena itu terjadilah penurunan fungsi sawar sehingga mengakibatkan penghancuran kapiler dan vena kecil. Bila hal ini terus berlanjut akan dapat memunculkan komplikasi berupa pendarahan.
Perdarahan pada ulkus peptikum bisa terjadi disetiap tempat, namun yang tersering adalah dinding bulbus duodenum bagian posterior, karena dekat dengan arterigastroduodenalis atau arteri pankreatikoduodenalis. Kehilangan darah ringan dan kronik dapat mengakibatkan anemi defisiensi besi. Disamping itu perdarahan juga dapat memunculkan gejala hemateneses dan melena. Pada pendarahan akut akibat ulkus peptikum dapat mengakibatkan terjadinya kekurangan volume cairan (MK III).
Proses ulkus peptikum yang terus berlanjut, selain berakibat pendarahan dapat pula berakibat terjadinya perforasi.perforasi yang berlanjut dapat menembus organ sekitarnya, termasuk peritoneum. Bila ulkus telah sampai diperitonium dapat terjadi peritonitis akibat infasi kuman. Obstruksi merupakan salah satu komplikasi dariulkus peptikum. Obstruksi biasanya dijumpai di daerah pylorus, yang disebabkan oleh peradangan, edema, adanya pilorusplasme dan jaringan parut yang terjadi pada proses penyembuhan ulkus. Akibat adanya obstruksi bisa timbul gejala anoreksia, mual, kembung dan vomitus setelah makan.
E. EVALUASI DIAKNOSTIK
Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya nyeri, nyeri akan epigastrik / distensi abdominal. Pemeriksaan dengan barium terhadap saluran gastro intestinal atas dapat menunjukkan adanya ulkus, endoskopi adalah prosedur diagnostic pilihan.
Endoskopi gastrointestinal atas digunakan untuk mengidentifikasi perubahan inflamasi, ulkus dan lesi. Melalui endoskopi, mukosa dapat secara langsung dilihat dan biopsy didapatkan. Endoskopi dapat mendeteksi lesi yang tidak terlihat melalui sinar x karena ukuran dan lokasinya.
F. INTERVENSI BEDAH
Tindakan pembedahan dianjurkan untuk pasien dengan ulkus yang tidak sembuh (yang gagal untuk sembuh setelah 12-16 minggu pengobatan medis), hemoragi yang mengancam hidup, pesforasi dan obstruksi. Prosedur pembedahan mencakup vagotomi dengan piloroplasti atau billroth I atau II.
Pasien yang memerlukan pembedahan ulkus adalah mereka yang mungkintelah lama sakit, putus asa, telah berhentidari peran kerjanya dan mengalami tekanan pada kehidupan keluarga mereka.
Intervensi keperawatan pra operatif untuk pasien yang mengalami pembedahan penyakit ulkus mencakup
1. menyiapkan pasien untuk test diaknostik
- pasien mengalami analisis laboratorium
- seri sinar x
- pemeriksaan fisik umum sebelum pembedahan
2. memenuhi kebutuhan cairan dan nutrisi pasien.
3. membersihkan dan mengosongkan saluran gastro intestinal
4. membatasi masukan oral
G. MASALAH KEPERAWATAN
1. nyeri (kronis) berhubungan dengan lesi sekunder terhadap peningkatan sekresi lambung.
2. risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi normal saluran pencernaan sekunder terhadap pilorostenosis.
3. kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan sekunder terhadap ulkus peptikum.
4. kurang pengetahuan tentang prosedur bedah dan program passoperasi
5. nyeri berhubungan dengan incisi bedah
6. resiko terhadap infeksi berhubungan dengan incisi bedah
H. FOKUS INTERVENSI
1. Nyeri (kronis) berhubungan dengan lesi terhadap peningkatan sekresi lambung
Kriteria hasil : Klien akan melaporkan nyerinya hilang.
Tampak rileks dan mampu tidur / istirahat dengan tepat.
Intervensi :
a. dorong klienuntuk melaporkan adanya nyeri.
R/ mencoba untuk mentoleransi nyeri, daripada meminta analgetik.
b. Kaji laporan nyeri: catat lokasi, durasi, intensitas, bahasa non verbal klien.
R/ perubahan pada karakteristik nyeri dapat menunjukkan penyebaran penyakit atau terjadinya komlikasi.
c. Kaji ulang faktor-faktor yang mencetuskan atau menghilangkan rasa nyeri.
R/ dapat menunjukkan dengan tepat factor pencetus / pemberat (seperti kejadian stress, tidak toleran terhadap makanan ) atau menidentifikasi terjadinya komlikasi.
d. Anjurkan klien untuk istirahat dengan posisi yang nyaman (missal: lutut fleksi).
R/ menurunkan tegangan abdomen dan meningkatkan rasa control.
e. Berikan atau anjurkan klien untuk melakukan teknik relaksasi.
R/ meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan meningkatkan kemampuan koping.
f. Kolaborasi dokter dalam pemberikan obat:
- Cimetidine à pendhambat histamine H2, menurunkan produksi asam gaster, meningkatkan pH gaster dan menurunkan iritasi pada mukosa gaster, penting untuk penyembuhandan pencegahan lesi.
- Antasida à untuk mempertahankan pH gaster pada tingkat 4,5.
- Belladona à antikolinergik dapat menurunkan motilitas gaster.
2. resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi normal saluran pencernaan sekunder terhadap pilorostenosis.
Kriteria hasil : Mengidentifikasi kebutuhan nutrisi individual, menunjukkan prilaku mempertahankan nutrisi adekuat.
Intervensi :
a. Timbang badan tiap hari.
R/ memberikan informasi tentang kebutuhan diet / keefektifan therapy.
b. Anjurkan pada klien untuk tirah baring dan atau pembatasan aktivitas selama fase sakit
R/ menurunkan kebutuhan metabolik untuk mencegah penurunan kalori dan simpanan energi.
c. Batasi makanan yang dapat menyebabkan timbulnya nyeri (makanan yang mengandung gas, asam, dll)
R/ mencegah exsaserbal gejala.
d. Anjurkan pada klien untuk makan dengan porsi kecil tapi sering.
R/ untuk mengurangi perasaan tegang pada lambung.
e. Kolaborasi dengan tim medis untuk dan ahli gizi tentang:
- Pemberrian vit B12 untuk meningkatkan nafsu makan pada klien yang mengalami penurunan berat badan
- Kebutuhan harian yang realistis dan adekuat.
3. kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan sekunder terhadap ulkus peptikum.
Kriteria hasil : klien menunjukkan perbaikan keseimbangan cairan dibuktikan dengan haluaran urine adekuat dengan berat jenis normal, tanda vital stabil, membrane mukosa lembab, turgor kulit baik, pengisian kapiler cepat.
Intervensi :
a. monitor tanda vital : bandingkan dengan hasil normal klien / sebelumnya. Ukur tekanan darah dengan posisi duduk, berbaring, berdiri bila mungkin.
R/perubahan tekanan darah dannadi dapat digunakan untuk perkiraan kasar kehilangan darah (missal tekanan darah kurang dari 90 mmHg dan nadi lebih dari 110 mmHg diduga 25% penurunan volume atau kurang lebih 1000 ml )Hipotensi procedural menunjukkan penurunan volume sirsulasi.
b. Monitor intake dan output dan hubungkan dengan perubahan berat badan. Ukur kehilangan darah / cairan melalui muntah, keringat, urine dan defekasi.
R/ memberikan pedoman untuk penggantian cairan.
c. Pertahankan tirah baring: mencegah muntah dan tegangan saat defekasi.
R/ aktifitas/ muntah meningkatkan tekanan intra abdominal dan dapat mencetuskan perdarahan lebih lanjut.
d. Tinggikan kepala tempat tidur saat / selama pemberiaan antasida.
R/ mencegah refluks gaster dan aspirasi antasida dimana dapat memyebabkan komlikasiparu yang serius.
e. Hindarkan dari kafein dan minuman karbonat.
R/ kafein dan minuman karbonat merangsang produksi HCL kemungkinan potensial perdarahan ulang.
f. Kolaborasi dengan tim medis untuk memberikan cairan / darah, obat sesuai indikasi:
R/ penggantian cairan tergantung pada derajat hipovolemia dan lamanya perdarahan (akut atau kronsi). Tambahkan volume (albumin) dapat infuskan sampai golongan darah dan pencocokan silang dapat diselesaikan dan tranfusi darah dimulai. Kurang lebih 80-90 % perdarahan gaster dikontrol oleh resusitasi cairan dan management medik.
4. kurang pengetahuan tentang prosedur bedah dan program pasca operasi.
Kriteria hasil : pasien mendapatkan informasi tentang prosedur pembedahan dan program pasca operasi.
Intervensi :
a. yakinkan bahwa pasien memahami type pembedahan yang direncanakan.
b. Beritahu pasien bahwa posisi towler yang dimodifikasi akan diperlukan setelah pulih dari anastesi
c. Beritahu pasien bahwa mereka akan diminta untuk melakukan nafas dalam dan batuk pasca operasi.
d. Beritahu pasien bahwa selang NS akan dipasang pada pasca operasi dan cairan akan ditunda sampai kembalinya peristaltic
e. Beritahu pasien bahwa cairan parenteral akan diberikan, cairan oral akan ditunda sampai NS dilepas dan peristaltic telah kembali
f. Beritahu pasien bahwa makanan ditingkatkan secara bertahap dan pemberian makanan parenteral mungkin diperlukan
g. Beritahu pasien bahwa akan ada ambulasi dengan bantuan pada hari pertama pasca operasi
h. Beritahu pasien bahwa balutan luka dapat mengandung drainase.
5. nyeri berhubungan dengan incise bedah.
Kriteria hasil : nyeri hilang bila istirahat
Intervensi :
a. berikan analgesic sesuai program.
b. Tingkatkan tindakan mengubah posisi dengan sering untuk kenyamanan dan mencegah komlikasi paru dan vaskuler
c. Tunda cairan oral sampai diprogramkan
d. Gunakan penghisap lambung untuk menghilangkan cairan darah dan gas dari lambung
6. resiko terhadap infeksi berhubungan dengan insisi bedah.
Kriteria hasil : pasien bebas dari infeksi
Intervensi :
a. kaji luka terhadap tanda dan gejala infeksi dan laporan bila ada tanda dan gejala
b. kaji abdomen terhadap tanda peritonitis, nyeri tekan, kekakuan, distensi.
c. Berikan antibiotik sesuai program.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah Edisi 8 Volume 2, EGC, Jakarta.
Carpenito, Lynda Juall, 1998, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, EGC, Jakarta.
Doenges, Marllynn E, Moorhouse, Mary Frances, Glaissler, C.Alice, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta.
Price, Syivia A dan Wilson, Lorraine M, 1995, Patofisiologi, Buku I, EGC, Jakarta.
Suzanne c. Smeltzer, Brenda G Bare, 1996.
Sujono Hadi, 1999, Gastroenterologi, Alumni, Bandung.
Tucker, Susan Martin, 1998, Standar Perawatan Pasien, EGC, Jakarta.