Dispepsia adalah kondisi yang umum dan bentuk yang paling sering dijumpai adalah Dispepsia Non Ulkus (DNU). Setelah menyingkirkan kelainan organik, dokter dan pasien harus menentukan bersama apakah dilakukan endoskopi awal untuk menegakkan diagnosis pasti terlebih dahulu atau dicoba sebelumnya dengan terapi empirik. Antasid, Antagonis Reseptor H2 dan obat promotilitas efektif untuk beberapa pasien dan peranan HP dalam DNU masih sedang dipelajari. Untuk membantu dokter dalam menghadapi pasien dispepsia dibentuk algoritma pengobatan, walaupun masih banyak versi. Penanganan stres dan dibentuknya hubungan yang baik antara dokter dan pasien juga memegang peranan penting terutama untuk pasien dengan gejala yang kronis.
PENDAHULUAN
Dispepsia merupakan keluhan yang sangat umum, terjadi pada lebih dari seperempat populasi, tetapi hanya kurang lebih seperempatnya berkonsultasi ke dokter. Dalam suatu penelitian mengenai dispepsia kronis yang belum diketahui penyebabnya dengan bantuan endoskopi, ternyata sebagian besar adalah termasuk Dispepsia Non Ulkus (DNU). (7,9 )
Sejak dulu DNU sering dihubungkan dengan psikosomatis terutama apabila gejala tersebut berhubungan dengan kecemasan, kelelahan, depresi atau stres emosional sehingga disebut dengan Dispepsia Fungsional. (3)
Pengetahuan baru mengenai peranan Helicobacter Pylori (HP) dalam patogenesis penyakit ulkus peptikum telah mendorong evaluasi kembali pendekatan klinik yang optimal terhadap DNU.(9)
DEFINISI DAN KLASIFIKASI
Dispepsia adalah istilah non spesifik yang dipakai pasien untuk menjelaskan keluhan perut bagian atas. Gejala tersebut bisa berupa nyeri atau tidak nyaman, kembung, banyak flatus, rasa penuh, bersendawa, cepat kenyang dan borborygmi ( suara keroncongan dari perut ). Gejala ini bisa akut, intermiten atau kronis.(3,4,7,9)
Istilah gastritis yang biasanya dipakai untuk menggambarkan gejala tersebut di atas sebaiknya dihindari karena kurang tepat.(7,9)
Dispepsia Non Ulkus (DNU) atau Dispepsia Idiopatik adalah dispepsia kronis atau berulang berlangsung lebih dari 1 bulan dan sedikitnya selama 25% dalam kurun waktu tersebut gejala dispepsia muncul, tidak ditemukan penyakit organik yang bisa menerangkan gejala tersebut secara klinis, biokimia, endoskopi (tidak ada ulkus, tidak ada oesophagitis dan tidak ada keganasan) atau radiografi.(6,14)
Dispepsia tanpa kelainan endoskopi yang bukan diklasifikasikan sebagai DNU dapat pula ditemukan pada Sindrom Kolon Iritatif, refluks gastroesofageal, penyakit saluran empedu, penggunaan obat, intoleransi makanan dan penyakit sistemik lainnya. (6,9) (lihat Tabel 1.). Penggunaan obat seperti OAINS dan kortikosteroid dapat pula menyebabkan kelainan struktural mulai dari gastritis(erosif dan hemorhagik) sampai dengan ulkus gaster / duodenum. (1)
Tabel 1. Klasifikasi Dispepsia Berdasarkan Etiologi
A. Idiopatik atau DNU
B. Organik
I. Obat-obatan
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), Antibiotik (makrolides, metronidazole), Besi, KCl, Digitalis, Estrogen, Etanol (alkohol), Kortikosteroid, Levodopa, Niacin, Gemfibrozil, Narkotik, Quinidine, Theophiline
II. Idiosinkrasi makanan (intoleransi makanan)
a. Alergi
susu sapi, putih telur, kacang, makanan laut, beberapa jenis produk kedelai dan beberapa jenis buah-buahan
b. Non-alergi
• produk alam : laktosa, sucrosa, galactosa, gluten, kafein, dll.
• bahan kimia : monosodium glutamate (vetsin), asam benzoat, nitrit, nitrat, dll.
Perlu diingat beberapa intoleransi makanan diakibatkan oleh penyakit dasarnya, misalnya pada penyakit pankreas dan empedu tidak bisa mentoleransi makanan berlemak, jeruk dengan PH yang relatif rendah sering memprovokasi gejala pada pasien ulkus peptikum atau esophagitis.
III.Kelainan struktural
A. Penyakit oesophagus
• Refluks gastroesofageal dengan atau tanpa hernia
• Akhalasia
• Obstruksi esophagus
B. Penyakit gaster dan duodenum
• Gastritis erosif dan hemorhagik; sering disebabkan oleh OAINS dan sakit keras (stres fisik) seperti luka bakar, sepsis, pembedahan, trauma, shock
• Ulkus gaster dan duodenum
• Karsinoma gaster
C. Penyakit saluran empedu
• Kholelitiaasis dan Kholedokolitiasis
• Kholesistitis
D. Penyakit pankreas
• Pankreatitis
• Karsinoma pankreas
E. Penyakit usus
• Malabsorbsi
• Obstruksi intestinal intermiten
• Sindrom kolon iritatif
• Angina abdominal
• Karsinoma kolon
IV.Penyakit metabolik / sistemik
a. Tuberculosis
b. Gagal ginjal
c. Hepatitis, sirosis hepatis, tumor hepar
d. Diabetes melitius
e. Hipertiroid, hipotiroid, hiperparatiroid
f. Ketidakseimbangan elektrolit
g. Penyakit jantung kongestif
V. Lain-lain
a. Penyakit jantung iskemik
b. Penyakit kolagen
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi DNU masih sedikit diketahui, beberapa faktor berikut mungkin berperan penting (multifaktorial): (5,9,14)
• Abnormalitas Motorik Gaster
Dengan studi Scintigraphic Nuklear dibuktikan lebih dari 50% pasien DNU mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam gaster. Demikian pula pada studi monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial, tetapi hubungan antara kelainan tersebut dengan gejala-gejala dispepsia tidak jelas.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fundus gaster yang “kaku” bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus gaster menuju ke bagian fundus dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada beberapa pasien DNU, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat.
• Perubahan sensifitas gaster
Lebih 50% pasien DNU menunjukkan sensifitas terhadap distensi gaster atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat: makanan yang sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi gaster intestinum atau distensi dini bagian Antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian ini.
• Stres dan faktor psikososial
Penelitian menunjukkan bahwa didapatkan gangguan neurotik dan morbiditas psikiatri lebih tinggi secara bermakna pada pasien DNU dari pada subyek kontrol yang sehat.
Banyak pasien mengatakan bahwa stres mencetuskan keluhan dispepsia. Beberapa studi mengatakan stres yang lama menyebabkan perubahan aktifitas vagal, berakibat gangguan akomodasi dan motilitas gaster.
Kepribadian DNU menyerupai pasien Sindrom Kolon Iritatif dan dispepsia organik, tetapi disertai dengan tanda neurotik, ansietas dan depresi yang lebih nyata dan sering disertai dengan keluhan non-gastrointestinal ( GI ) seperti nyeri muskuloskletal, sakit kepala dan mudah letih. Mereka cenderung tiba-tiba menghentikan kegiatan sehari-harinya akibat nyeri dan mempunyai fungsi sosial lebih buruk dibanding pasien dispepsia organik. Demikian pula bila dibandingkan orang normal. Gambaran psikologik DNU ditemukan lebih banyak ansietas, depresi dan neurotik.
• Gastritis HP
Gambaran gastritis HP secara histologik biasanya gastritis non-rosif non-spesifik. Di sini ditambahkan non-spesifik karena gambaran histologik yang ada tidak dapat meramalkan penyebabnya dan keadaan klinik yang bersangkutan. Diagnosa endoskopik gastrtitis akibat infeksi HP sangat sulit karena sering kali gambarannya tidak khas. Tidak jarang suatu gastritis secara histologik tampak berat tetapi gambaran endoskopik yang tampak tidak jelas dan bahkan normal. Beberapa gambaran endoskopik yang sering dihubungkan dengan adanya infeksi HP adalah (Malfertheimen, 1994):
a. Erosi kronik di daerah antrum.
b. Nodularitas pada mukosa antrum.
c. Bercak-bercak eritema di antrum.
d. Area gastrika yang menonjol dengan bintik-bintik eritema di daerah korpus.
Peranan infeksi HP pada gastritis dan ulkus peptikum sudah diakui, tetapi apakah HP dapat menyebabkan DNU masih kontroversi. Pravelensi HP pasien DNU tidak berbeda dengan kontrol. Di negara maju, hanya 50% pasien DNU menderita infeksi HP, sehingga penyebab dispepsia pada DNU dengan HP negatif dapat juga menjadi penyebab dari beberapa DNU dengan HP positif. Bukti terbaik peranan HP pada DNU adalah gejala perbaikan yang nyata setelah eradikasi kuman HP tersebut, tetapi ini masih dalam taraf pembuktian studi ilmiah. Banyak pasien mengalami perbaikan gejala dengan cepat walaupun dengan pengobatan plasebo. Studi “follow up” jangka panjang sedang dikerjakan, hanya beberapa saja yang tidak kambuh.
• Kelainan GI fungsional
DNU cenderung dimasukkan sebagai bagian kelainan fungsional GI, termasuk di sini Sindrom Kolon Iritatif, nyeri dada non-kardiak dan nyeri ulu hati fungsional. Lebih dari 80% dengan Sindrom Kolon Iritatif menderita dispepsia dan lebih dari sepertiga pasien dengan dispepsia kronis juga mempunyai gejala Sindrom Kolon Iritatif. Pasien dengan kelainan seperti ini sering ada gejala extra GI seperti migrain, myalgia dan disfungsi kencing dan ginekologi.
Pada anamnesis dispepsia jangan lupa menanyakan gejala Sindrom Kolon Iritatif seperti nyeri abdomen mereda setelah defikasi, perubahan frekuensi buang air besar atau bentuknya mengalami perubahan, perut tegang, tidak dapat menahan buang air besar dan perut kembung. Beberapa pasien juga mengalami aerophagia, lingkaran setan dari perut kembung diikuti oleh masuknya udara untuk menginduksi sendawa, diikuti oleh kembung yang lebih parah. Ini memerlukan perbaikan tingkah laku.
Abnormalitas di atas belum semua diidentifikasi oleh semua peneliti dan tidak selalu muncul pada semua penderita. Hasil yang kurang konsisten dari bermacam terapi yang digunakan untuk terapi DNU mendukung keanekaragaman kelompok ini.
DIAGNOSIS
Sebelum diagnosis DNU dibuat, kita harus menyingkirkan kemungkinan dispepsia organik yang mempunyai banyak penyebab seperti tampak pada Tabel 1. Diagnosis yang dihubungkan dengan penyebab ini didapat secara sistematis, yaitu dengan anamnesis yang teliti dan terarah, pemeriksaan fisik, laboratorium yang disesuaikan dengan hasil anamnesis dan pemeriksaan penunjang (endoskopi dan radiografi).
Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya dari satu sisi akan memberikan hasil yang baik, akan tetapi pemeriksaan lengkap akan mengakibatkan biaya yang harus dikeluarkan pasien akan tinggi, sehingga dalam menentukan penyebab sindrom dispepsia ini para dokter harus dapat memilih pemeriksaan yang tepat dan terarah tanpa harus melakukan semua pemeriksaan (7). Beberapa faktor yang menentukan perlu tidaknya pemeriksaan penunjang adalah tingkat kroniksitas gejala, kemungkinan penyakit organik yang serius, respon pasien terhadap terapi empirik dan tingkat kecemasan pasien. (9)
ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK
Riwayat minum obat termasuk minuman yang mengandung alkohol (Tabel-1.) dan jamu yang dijual bebas di masyarakat perlu ditanyakan dan kalau mungkin harus dihentikan. Hubungan dengan jenis makanan tertentu (Tabel 1.) perlu diperhatikan. Tanda dan gejala “alarm”(peringatan) seperti disfagia, berat badan turun, nyeri menetap dan hebat, nyeri yang menjalar ke punggung, muntah yang sangat sering, hematemesis, melena atau jaudice kemungkinan besar adalah merupakan penyakit serius yang memerlukan pemeriksaan seperti endoskopi dan / atau “USG” atau “CT Scan” untuk mendeteksi struktur peptik, adenokarsinoma gaster atau esophagus, penyakit ulkus, pankreatitis kronis atau keganasan pankreas empedu.(9)
Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stresor psikososial misalnya: masalah anak (meninggal, nakal, sakit, tidak punya), hubungan antar manusia (orang tua, mertua, tetangga, adik ipar, kakak), hubungan suami-istri (istri sibuk, istri muda, dimadu, bertengkar, cerai), pekerjaan dan pendidikan (kegiatan rutin, penggusuran, PHK, pindah jabatan, tidak naik pangkat). Hal ini berakibat eksaserbasi gejala pada beberapa orang.(7)
Harus diingat gambaran khas dari beberapa penyebab dispepsia. Pasien ulkus peptikum biasanya berumur lebih dari 45 tahun, merokok dan nyeri berkurang dengan mencerna makanan tertentu atau antasid. Nyeri sering membangunkan pasien pada malam hari banyak ditemukan pada ulkus duodenum (4,9) Gejala esofagitis sering timbul pada saat berbaring dan membungkuk setelah makan kenyang yaitu perasan terbakar pada dada, nyeri dada yang tidak spesifik (bedakan dengan pasien jantung koroner), regurgitasi dengan gejala perasaan asam pada mulut.(4,8). Bila gejala dispepsia timbul segera setelah makan biasanya didapatkan pada penyakit esofagus, gastritis erosif dan karsinoma. Sebaliknya bila muncul setelah beberapa jam setelah makan sering terjadi pada ulkus duodenum (4). Pasien DNU lebih sering mengeluhkan gejala di luar GI, ada tanda kecemasan atau depresi, atau mempunyai riwayat pemakaian psikotropik (9). Pemeriksaan fisik untuk menemukan organomegali, tumor abdomen, ascites, jaudice tetap penting dikerjakan untuk menyingkirkan penyakit organik.
Oleh karena dispepsia ini merupakan kumpulan gejala-gejala di mana pada suatu keadaan satu gejala lebih dominan dari yang lain, sehingga para ahli membagi gejala-gejala ini dalam beberapa sub-group: (7,9)
1. Dispepsia tipe refluks yaitu adanya rasa terbakar pada epigastrium, dada atau regurgitasi dengan gejala perasaan asam di mulut.
2. Dispepsia tipe dismotilitas yaitu nyeri epigastrium yang bertambah sakit setelah makan, disertai kembung, cepat kenyang , rasa penuh setelah makan, mual atau muntah, bersendawa dan banyak flatus.
3. Dispepsia tipe ulkus yaitu nyeri epigastrium yang mereda bila makan atau minum antasid dan nyeri biasanya terjadi sebelum makan dan tengah malam.
4. Dispepsia non-spesifik yaitu dispepsia yang tidak bisa digolongkan dalam satu kategori di atas.
Sayangnya, dengan pengecualian dispepsia tipe refluks, sub-group di atas tidak membedakan antara DNU dan dispepsia organik.
• Dispepsia tipe refluks biasanya terbukti secara endoskopi atau monitor PH ambulatoar sehingga sebaiknya tipe ini langsung kita obati sebagai penyakit refluks gastroesophageal.
• Beberapa pasien dengan dispepsia tipe dismotilitas ternyata menderita ulkus peptikum sebaliknya penderita dengan dispepsia tipe ulkus menderita DNU.(9)
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan yang mungkin dikerjakan antara lain: darah lengkap, elektrolit, calcium dan amylase, fungsi hati, fungsi tyroid dan ECG. Terutama untuk pasien berumur lebih dari 45 tahun dan umur muda dengan gejala yang sering kambuh. Kita harus selektif dalam pemeriksaan ini dengan mengingat indikasi klinik dan pertimbangan biaya-efektifitas.(9)
PEMERIKSAAN PENUNJANG (8,9)
• Endoskopi segera dikerjakan jika memang ada gejala “peringatan” dan pasien yang sangat kuatir tentang adanya penyakit serius yang mendasarinya. Untuk pasien lainnya, para klinisi harus memutuskan antara segera mengetahui diagnosa definitif dengan endoskopi dan mengetahui dulu hasil terapi percobaan medis empiris (therapi exjuvantivus).
• Foto seri sinar-X dengan Barium pada GI atas kurang akurat dibanding endoskopi untuk diagnosis ulkus peptikum dan refluks gastroesofageal.
• Test non-invasif untuk mendeteksi infeksi HP dengan IgG serologik atau Urea Breath Test (lihat Algoritma I.) Keduanya mempunyai sensitivitas dan spesifiksitas > 90%
• “USG dan CT Scan” hanya dilakukan bila secara klinis atau laboratoris ada kecurigaan ke arah penyakit pankreas atau empedu.
• Pengukuran PH Intraesophagus (monitor 24 jam) dilakukan terhadap pasien dengan Dispepsia Non Spesifik dan hasil endoskopi yang normal untuk mendiagnosa kemungkinan refluks gastroesofageal. Tapi bagaimanapun hal ini tidak praktis, untuk kasus yang dicurigai penyakit refluks gastroesofageal langsung kita terapi imperik anti refluks.
PENATALAKSANAAN DNU
• Perbaikan kebiasaan sehari-hari, pasien harus mengerti bahwa gejala dispepsia bisa kambuh kembali tetapi dapat dicegah melalui perubahan gaya hidup dan pemilihan jenis makanan. Keluhan yang timbul setelah makan sebaiknya mencoba dengan makanan porsi kecil dan rendah lemak. Kopi dan alkohol harus dihindari, demikian juga makanan tertentu yang nampaknya mencetuskan gejala. Coba hentikan obat-obat tertentu terutama OAINS.(9)
• Bila secara anamnesis ditemukan adanya stresor psikososial, ada baiknya diatasi dulu faktor psikologiknya, kalau perlu dengan konseling ke psikiater. Bila dengan cara ini keluhan berkurang atau hilang sama sekali, gastrokopi tidak diperlukan lagi.(7)
INTERVENSI OBAT
Sebenarnya banyak pasien DNU tidak memerlukan pengobatan (bahkan “FDA” Amerika sudah menyetujui), tetapi pada beberapa kasus pemakaian obat yang bijaksana dapat membantu. Lebih dari 60% pasien menunjukkan perbaikan dengan terapi placebo. Oleh karena itu, perbaikan gejala bisa merupakan akibat dan efek placebo atau manfaat hubungan pasien-dokter.(9)
• Antasid dan obat anti sekresi
Efektifitas antasid untuk terapi DNU tidak nampak dalam percobaan klinik terkontrol tetapi karena sangat aman dan tidak mahal, bisa diteruskan untuk pasien yang berespon baik. Demikian pula efektifitas penggunaan Antagonis Reseptor H2 ( ARH2 ) seperti : cimetidine, ranitidine dan famotidine belum terbukti. Beberapa studi mengenai obat anti sekresi ini menyimpulkan bahwa penggunaannya paling efektif untuk dispepsia tipe refluks (penyakit refluks gastroesofageal) dan tipe ulkus. Obat ini jarang menimbulkan efek samping. Pasien yang berespon sebaiknya diterapi selama 2-4 minggu. Terapi jangka panjang dengan ARH2 sebaiknya dihindari kalau penghentian obat gejala muncul kembali.(9,16)
Obat penyekat pompa proton (PPP) seperti Omeprazole dan Lansoprazole tidak memberikan perbaikan gejala yang lebih besar pada pasien DNU dibanding ARH2, sehingga tidak direkomendasikan karena harganya lebih mahal.(9). Obat ini sangat efektif untuk terapi refluks gastroesofageal melebihi ARH2.(
• Obat promotilitas
Obat seperti Metoclopramide, Cisapride dan Domperidone sangat baik mengobati pasien dispepsia yang disertai atau disebabkan gangguan motilitas (Dispepsia tipe dismotilitas).(7,9). Metoclopramide dan domperidone keduanya bekerja pada antagonis reseptor D2-dopomine yang meningkatkan motilitas gaster dan mengurangi mual. Metoclopramide melewati sawar darah otak sehingga efek samping: anxietas, mengantuk, agitasi, disfungsi motor extrapyramidal dan dyskinesia tarda terjadi pada kurang lebih 20%-30% pasien. Untuk penggunaan lama hati-hati pada pasien tua. Domperidone tidak melewati sawar darah otak sehingga efek samping seperti di atas tidak timbul. Cisapride adalah agonis 5-HT4 serotonin bekerja meningkatkan motilitas esophagus dan gaster. Efek samping jarang dilaporkan.(9,12)
Penelitian lebih lanjut obat promotilitas untuk DNU masih diperlukan. Data saat ini menunjukan bahwa terapi cisapride setiap hari selama 2-4 minggu lebih mahal dibanding pengobatan yang diperlukan selama eksaserbasi gejala saja.(9)
ERADIKASI HP
Hasil percobaan klinik yang ada sekarang masih belum bisa membuktikan apakah eradikasi HP berakibat perbaikkan gejala secara bermakna pada pasien DNU. Nampaknya hanya sebagian kecil saja pasien DNU mengambil manfaat dari eradikasi kuman HP, sebagian besar masih belum(9). Bahkan ada beberapa ahli berpendapat bahwa HP saja tidak cukup menyebabkan gejala karena dispepsia dapat terjadi pada pasien tanpa infeksi HP, dan infeksi HP dapat terjadi tanpa gejala dan mereka juga mempertanyakan dan memperdebatkan bukti penelitian yang mendukung hipotesis bahwa HP merupakan etiologi dari DNU (15). Berdasarkan “konsensus Maastricht” (12-13 September 1996) pada pertemuan “Eropean Helicobacter Pylori Study Group” disepakati bahwa eradikasi HP pada pasien DNU hanya disarankan (bukan sangat dianjurkan seperti misalnya pada tukak lambung/duodenum) oleh karena tidak berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang nyata.(7)
Sampai saat ini masih terdapat perbedaan strategi dalam hal kapan sebaiknya test serologi HP dikerjakan pada pasien dengan kecurigaan DNU, apakah sebelum terapi empiris diberikan (lampiran: Algoritma I & II) atau setelah terapi empiris dinyatakan gagal (lampiran: Algoritma III & IV). Kelompok studi HP Indonesia (KSHPI) merekomendasikan test serologi sebelum terapi empiris diberikan dan terapi eradikasi HP dikerjakan hanya pada penderita dispepsia dengan HP positif pada test serologi dan pada pemeriksaan Rapid Urea Test (CLO), Patologi Anatomi atau Kultur (HP) yang diperoleh secara endoskopi sedikitnya salah satu positif. KSHPI juga berpendapat bahwa eradikasi HP pada DNU hanya dianjurkan (bukan sangat dianjurkan) dan terutama untuk tipe ulkus. Pemeriksaan secara endoskopi wajib dikerjakan sebelum dilakukan terapi eradikasi HP.(11). Strategi lain untuk pertimbangan biaya efektivitas diusulkan oleh Fredrick, Silverstein dan Ofman. Mereka berpendapat terapi eradikasi HP pada pasien dengan kecurigaan DNU bisa langsung dimulai begitu test serologi HP positif tanpa menunggu pemeriksaan endoskopi (lampiran: Algoritma II). Pemeriksaan endoskopi baru dikerjakan kalau eradikasi HP gagal menghilangkan dispepsia atau dispepsia kambuh kembali.(9)
Marshall berpendapat bahwa untuk melakukan eradikasi HP pada penderita DNU diperlukan syarat-syarat sebagai berikut: (14)
• keluhan berlangsung cukup lama dan mengganggu penderita
• faktor penyebab lain dapat disingkirkan (misalnya OAINS)
• terapi konvensional (antasid, ARH2) tidak menolong
Sejalan dengan pemikiran Marshall tersebut, timbul strategi eradikasi HP setelah terapi empiris dianggap gagal (lampiran: Algoritma III & IV). Algoritma III diusulkan oleh: John R. Lambert (Australia) tahun 1993 sedangkan Algoritma IV adalah konsensus ahli gastroenterologi dari Australia, Malaysia, Singapura dan Hongkong pada pertemuan mereka di Kuala Lumpur Juni 1996 dalam “Ist Asian Pacific Working Party on Functional Dyspepsia” dan kemudian diperbaiki pada pertemuan mereka di Sydney-Australia Nopember 1997. Strategi ini dibuat berdasarkan pertimbangan bahwa eradikasi HP untuk pasien DNU masih kontroversial.(6,16)
Tabel 2. menunjukkan obat yang terbukti efektif dalam eradikasi kuman HP. Terapi antibiotika yang dipilih berhubungan dengan kecilnya resiko efek samping dan dengan pembentukan resistensi obat bila eradikasi itu gagal. Dokter harus membicarakan resiko dan keuntungan pengobatan tersebut dengan pasiennya.
Pilihan utama di negara maju adalah kombinasi: Penyekat Pompa Proton + Clarithromycin + Metronidazole atau Amoxicillin. Jika gagal dipertimbangkan dengan pemberian empat macam obat yaitu menambahkan Bismuth. Untuk di Indonesia banyak para peneliti melaporkan angka kekebalan yang tinggi terhadap Metronidazole dan Amoxicillin. Di samping itu kendala lain adalah efek samping Metronidazole. Menurut pengalaman penderita-penderita Indonesia yang mendapat terapi Metronidazole untuk penyakit lain kurang dapat mentolerir Metronidazole. Apalagi untuk penderita dispepsia yang sering kali memang sudah mengeluh mual, sehingga banyak penderita tidak dapat menyelesaikannya karena angka efek samping yang tinggi.(2,11,14)
Tabel 2. Rekomendasi Pengobatan Anti Hp
OBAT DOSIS DURASI ERADIKASI
Kelompok 1 (3 jenis obat):
pBismuth
p Tetracycline
p Metronidazole 4 x II tablet
4 x 500 mg
4 x 250 mg 14 hari 88% - 90%
Kelompok 2, 3 dan 4 (3 jenis obat):
p Penyekat pompa proton
p Clarithromycin atau
Amoxicillin
p Metronidazole atau
Amoxicillin 2 x I kapsul
2 x 500 mg
2 x 1000 mg
2 x 500 mg
2 x 1000 mg 10-14 hari 86% - 91%
Catatan:
Bismuth: Colloidal Bismuth Subcitrate 60 mg atau Bismuth Subsalicylate 60 mg
Penyekat Pompa Proton:Omeprazole 20 mg, Lanzoprazole 30mg atau Pantoprazole 40mg
Metaanalisis pada percobaan klinik yang sudah diseleksi menunjukkan bahwa 20% pasien DNU akan mengambil keuntungan terhadap eradikasi Hp.(16)
PENANGANAN PENDERITA DENGAN GEJALA REFRAKTER
Sebagian kecil pasien tidak berespon terhadap pengobatan yang diberikan sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien ini dianjurkan “check up” teratur untuk mengungkapkan keluhannya dan status kesehatannya. Jika tidak ada perubahan secara klinik sebaiknya dihindari pemeriksaan diagnostik lebih jauh karena mahal dan akan merusak kepercayaan pasien terhadap diagnosis yang telah dibuat. Perhatian pasien perlu diarahkan dari menemukan “penyebab” ke pembentukan strategi positif untuk melawan gejala-gejala kronik tersebut. Konsultasi ke psikologi atau psikiater penting untuk pasien dengan gejala refrater. Antidepressant trisiklik tidak direkomendasikan karena dapat memperlambat pengosongan gaster (terutama untuk pasien gastroparesis). Sebaliknya Serotonin Reuptake Inhibitor dapat menyebabkan mual pada beberapa pasien.(9)
DAFTAR PUSTAKA
1. Adi P, Wasiati N, Soeroso Y, Oesman N. Terapi Penderita Dispepsia Pemakai Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS). Pertemuan Ilmiah Nasional IX PPHI, Kongres Nasional VIII PGI, PEGI. Surabaya, 15 September 1997.
2. Djayapranata I. Segi Praktis Penanganan Penderita Dengan Infeksi Helicobacter Pylori. Pertemuan Ilmiah Nasional IX PPHI, Kongres Nasional VIII PGI, PEGI. Surabaya, 15 September 1997.
3. Friedman HH, Mehta SJ, Indigestion, Gaseousness and Flatulence. Dalam: Problem-Oriented Medical Diagnosis. Boston/Toronto: Little, Brown and Company, 1988: 186-88
4. Freidman LS, Isselbacher KJ, Indigestion. Dalam: Harrison’s Principles of Internal Medicine. Hamburg: Mc. Graw - Hill Book Company, 1987: 171-73.
5. Jain AK, Gupta JP, Gupta S, Rao KP, Bahte PB, Neuroticism and Stressful Live Events In-Patients with Non Ulcer Dyspepsia. Dalam: Journal Association Physician India. Pebruari 1995, 43 (2): 90-1
6. Lambert JR. The Role of Helicobacter Pylori in Nonulcer Dyspepsia A Debate for. Dalam: Dooley CP. ed. Gastroenterology Clinics of North America. Philadelphia: W.B. Saunders, 1993: 141-51.
7. Manan C. Sindrom Dispepsia. Dalam: Mansyur M. ed. Dispepsia. Jakarta: Yayasan Penerbit IDI, 1994: 1-7.
8. Manan C. Penyakit-penyakit yang Berhubungan Dengan Asam Lambung. Simposium New Perspective in the Management of Acid Related Disease, Surabaya, 15 September 1997.
9. Mc. Callum RW. Evolving Approach to Dyspepsia and Nonulcer Dyspepsia. Pertemuan Ilmiah Nasional IX PPHI, Kongres Nasional VIII PGI, PEGI. Surabaya, 15 September 1997.
10. Mc. Laren D.S. Food Idiosyncrasies. Medicine Digest 1994; 12: 5-9
11. Rani A.A, Sumodiharjo S, et al. Konsensus Nasional Penanggulangan Infeksi Helicobacter Pylori. Jakarta, 21 Desember 1996.
12. Sjahli A. Obat-Obat Prokinetik Masa Kini. Dalam: Medika 1991; No.2 Tahun 17: 157-60
13. Soemanto R. Gangguan Gastro Intestinal Yang Berhubungan Dengan Emosi. Simposium Penatalaksanaan Gangguan Psikosomatik, Surabaya, 19 Januari 1995.
14. Soemoharjo S. Mengenal Lebih Dekat Helicobacter Pylori Dan Penyakit Gastroduodenal. Mataram, 1997.
15. Talley N.J. The Role of Helicobacter Pylori in Nonulcer Dyspepsia A Debate-Against. Dalam: Dooley CP. ed. Gastroenterology Clinics of North America. Philadelphia: W.B. Saunders, 1993: 153-67.
16. Talley NJ, Lam SK, Goh KL, Fock KM, Management Guides Line for Uninvestigated and Functional Dyspepsia in the Asia-Pacific Region. 1st Asian Pacific Working Party on Functional Dyspepsia. Kuala Lumpur, Juni 1996 dan pertemuan di Sydney-Australia Nopember 1997.