ASITES
PENDAHULUAN
Asites adalah peningkatan jumlah cairan intra peritoneal. Penyebab asites terbanyak adalah gangguan hati kronis tetapi dapat pula disebabkan penyakit lain.
PATOGENESIS
Asites dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, diantaranya :
• Peningkatan tekanan hidrostatik : Sirosis, oklusi vena hepatika (sindrom Budd-Chiari),obstruksi vena cava inferior, perikarditis konstriktif, penyakit jantung kongestif.
• Penurunan tekanan osmotik koloid : Penyakit hati stadium lanjut dengan gangguan sintesis protein, sindrom nefrotik, malnutrisi, protein lossing enteropathy
• Peningkatan permeabilitas kapiler peritoneal : Peritonitis TB, peritonitis bakteri, penyakit keganasan pada peritonium.
• Kebocoran cairan di cavum peritoneal:Bile ascites, pancreatic ascites (secondary to a leaking pseudocyst), chylous ascites, urine ascites.
• Micellanous : Myxedema, ovarian disease (Meigs’ syndrome), chronic hemodialysis
GEJALA KLINIS
Derajat Asites dapat ditentukan secara semikuantitatif sebagai berikut :
• Tingkatan 1 : bila terdeteksi dengan pemeriksaan fisik yang sangat teliti.
• Tingkatan 2 : mudah diketahui dengan pemeriksaan fisik biasa tetapi dalam jumlah cairan yang minimal.
• Tingkatan 3 : dapat dilihat tanpa pemeriksaan fisik khusus akan tetapi permukaan abdomen tidak tegang.
• Tingkatan 4 : asites permagna.
DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisik :
• Distensi abdomen
• Bulging flanks
• Timpani pada puncak asites
• Fluid wave
• Shifting dulness
• Puddle sign
Foto thorax dan foto polos abdomen (BOF)
• Elevasi diaphragma, pada 80% pasien dengan asites, tepi lateral hepar terdorong ke sisi medial dinding abdomen (Hellmer sign). Terdapat akumulasi cairan dalam rongga rectovesical dan menyebar pada fossa paravesikal, menghasilkan densitas yang sama pada kedua sisi kandung kemih. Gambaran ini disebut ”dog’s ear” atau “Mickey Mouse” appearance. Caecum dan colon ascenden tampak terletak lebih ke medial dan properitoneal fat line terdorong lebih ke lateral merupakan gambaran yang tampak pada lebih dari 90% pasien dengan asites.
Ultrasonografi
• Volume cairan asites kurang dari 5-10 mL dapat terdeteksi.
• Dapat membedakan penyebab asites oleh karena infeksi, inflamasi atau keganasan.
CT scan
• Asites minimal dapat diketahui dengan jelas pada pemeriksaan CT scan. Cairan asites dalam jumlah sedikit akan terkumpul di ruang perihepatik sebelah kanan. Ruang subhepatic bagian posterior (kantung Morison), dan kantung Douglas.
Parasentesis abdomen
Analisis cairan asites dilakukan pada onset awal asites, tindakan tersebut memerlukan rawat inap untuk observasi.
Analisis cairan asites :
1. Perbedaan kadar albumin serum-asites (SAAG)
2. Kadar amilase, meningkat pada asites gangguan pankreas.
3. Kadar trigliserida meningkat pada chylous asites.
4. Lekosit lebih dari 350/mikroliter merupakan tanda infeksi. Dominasi polimorfonuklear, kemungkinan infeksi bakteri. Dominasi mononuklear, kemungkinan infeksi tuberkulosis atau jamur.
5. Eritrosit lebih dari 50.000/mikroliter menimbulkan dugaan malignancy, tuberkulosis atau trauma.
6. Pengecatan gram dan pembiakan untuk konfirmasi infeksi bakterial.
7. Apabila pH or = 1.1 g/dl) Rendah ( < 1.1 g/dl)
Sirosis Hepatitis alkohol Gagal jantung
Gagal hati fulminan
Trombosis vena porta Tumor peritonium Asites pankreas Asites bilier
TBC peritonium
Sindrom nefrotik
Obstruksi usus
TERAPI
Penanganan asites tergantung dari penyebabnya, diuretik dan diet rendah garam sangat efektif pada asites karena hipertensi portal. Pada asites karena inflamasi atau keganasan tidak memberi hasil. Restriksi cairan diperlukan bila kadar natrium turun hingga < 120 mmol perliter.
Obat
Kombinasi spironolakton dan furosemid sangat efektif untuk mengatasi asites dalam waktu singkat. Dosis awal untuk spironolakton adalah 1-3 mg/kg/24 jam dibagi 2-4 dosis dan furosemid sebesar 1-2 mg/kgBB/dosis 4 kali/hari, dapat ditingkatkan sampai 6 mg/kgBB/dosis. Pada asites yang tidak memberi respon dengan pengobatan diatas dapat dilakukan cara berikut :
1. Parasentesis
2. Peritoneovenous shunt LeVeen atau Denver
3. Ultrafiltrasi ekstrakorporal dari cairan asites dengan reinfus
Paracentesis
Pengambilan cairan untuk mengurangi asites masif yang aman untuk anak adalah sebesar 50 cc/kg berat badan. Disarankan pemberian 10 g albumin intravena untuk tiap 1 liter cairan yang diaspirasi untuk mencegah penurunan volume plasma dan gangguan keseimbangan elektrolit.
Monitoring
Rawat inap diperlukan untuk memantau peningkatan berat badan serta pemasukan dan pengeluaran cairan. Pemantauan keseimbangan natrium dapat diperkirakan dengan monitoring pemasukan (diet, kadar natrium dalam obat dan cairan infus) dan produksi urin. Keseimbangan Na negatif adalah prediktor dari penurunan berat badan. Keberhasilan manajemen pasien dengan asites tanpa edema perifer adalah keseimbangan Na negatif dengan penurunan berat badan sebesar 0,5 kg per hari.
Diet
Restriksi asupan natrium (garam) 500 mg/hari (22 mmol/hari) mudah diterapkan pada
pasien-pasien yang dirawat akan tetapi sulit dilakukan pada pasien rawat jalan. Untuk itu pembatasan dapat ditolerir sampai batas 2000 mg/hari (88 mmol/hari). Retriksi cairan tidak diperlukan kecuali pada kasus asites dengan serum sodium level turun di bawah 120 mmol/
Asites adalah satu kondisi dimana terdapat akumulasi cairan berlebih yang mengisi rongga peritoneal. Diperkirakan sekitar 85 % pasien asitesadalah pasien sirosis hati atau karena penyakit hati lainnya yang parah. “Hampir 60 % pasien sirosis hati akan menjadi asitesdalam masa 10 tahun,” jelas Prof. Dr. H.M. Sjaifoellah Noer SpPD-KGEH dari divisi Hepatologi, Departemen Penyakit Dalam FKUI, Jakarta dalam Liver Up Date 2006 di Hotel Borobudur Jakarta, 28-30 Juli lalu. Namun, sekitar 15 % pasien asitestidak disebabkan oleh gangguan fungsi hati retensi cairan. Asitesyang terjadi dapat berupa asitestransudatif atau eksudatif.
Asites pada sirosis merupakan prognosis yang buruk karena menyebabkan kematian sebesar 50 % dalam waktu tiga tahun jika tanpa transplantasi liver. Dari prevalensi ascites, 10 % nya adalah asites refraktori yang umumnya diterapi dengan pemberian diuretika. “Asitesdikategorikan refraktori bila tidak bisa dimobilisasi atau dicegah dengan terapi medis. Gejala umum pada asites refraktori adalah asites mengalami kekambuhan sesudah tindakan paracentesis, meningkatnya risiko sindroma hepatorenal, dan prognosis yang buruk,” tambahnya lagi.
Dalam melakukan terapi pada asites refraktori perlu diperhatikan mengenai durasi pengobatan, respon yang lambat, kekambuhan asitesyang cepat, serta komplikasi yang dipicu oleh pemberian diuretika. Pilihan terapi untuk asites refraktoriadalah, terapi paracentesis, TIPS (transjugular intrahepatic portosystemic shunting), peritoneovenus shunts, dan transplantasi hati.
Terapi paracentesis merupakan pengobatan lini pertama untuk asites refraktori karena penerimaannya yang luas di kalangan medis. Prosedur ini merupakan pengulangan pemberian large volume paracentesis (LVP) ditambah albumin. Pemberian LVP 5 L/hari dengan infus albumin (6-8 g/l ascites yang dibuang) lebih efetif mengeliminasi asites dan menghasilkan komplikasi yang minimal jika dibandingkan dengan terapi diuretika.
Kombinasi paracentesis dengan infus albumin ini juga menyingkat masa perawatan di rumah sakit. Tindakan paracentesis dapat dilakukan tiap 2 hingga 4 pekan tanpa keharusan opname. Namun tindakan ini tidak berarti menghilangkan kebutuhan akan diuretic (spironolakton atau furosemida), karena kekambuhan asites bisa ditunda pada pasien yang menerima diuretik pascaparacentesis. Hipovolemia pascaparacentesis efektif bisa dicegah dengan pemberian albumin dibandingkan pemberian plasma sintetik ekspander.
Sesudah paracentesis, pasien harus melakukan diet sodium rendah (70-90 mmol/hari). Pasien yang menerima diuretika dosis tinggi harus mengecek kadar sodium pada urine, jika kurang dari 30 mEq/hari maka pemberian diuretika harus dihentikan. Komplikasi pada asites refraktori yang tidak diintervensi dengan pengobatan akan berkembang menjadi infeksi SBP (spontaneous bacterial peritonitis), sindrom hepatorenal, hepatic encephalopathy, dan kerusakan fungsi sirkulasi.
“Kondisi hipoalbuminemia kerap dijumpai pada sirosis hati. Hal ini disebabkan oleh penurunan mekanisme sintesa karena disfungsi liver atau diet protein rendah, peningkatan katabolisme albumin, serta adanya asites. Albumin sendiri disintesa secara lengkap pada organ hati,”lanjut Prof. H.M Sjaifoellah.
Indikasi terapi albumin pada sirosis hati adalah adanya asites, sindrom hepatorenal, adanya SBP, dan kadar albumin di bawah 2,5 g%. Penggunaan albumin dimaksudkan untuk memelihara colloid oncotic pressure (COP), mengikat dan menyalurkan obat, dan sebagai penangkap radikal bebas. Albumin juga memiliki efek antikoagulan, efek prokoagulatori, efek permeabilitas vaskular, serta ekspansi volume plasma.
(Ani)